Minggu, 05 Agustus 2012

Kajian Al-Hikam 4



سوابق الهمم لاتخرق اسوار الاقدار

“Kuatnya kemauan (himmah) tidak akan bisa menembus rahasia-rahasia taqdir”

Sering kita mendengar kalimat yang banyak diucapkan banyak orang –meski mereka tidak tahu asal dan sumber kalimat itu ; ‘ manusia punya rencana Allah punya rencana, dan rencana Allah-lah yang pasti terlaksana.’ Sesering juga kita mendengar orang tua dulu berkata, “nak, maut, bala’, jodoh, rezeki, semua sudah ada yang ngatur (Allah), jadi ya jalani saja.” Dan masih banyak petuah-petuah jalanan yang menyebar di masyarakat kita dan menjadi satu kesepakatam sosial yang tak disengaja, bahwa kita dan manusia lainnya bersepakat tentang kelemahan ‘kemauan’ kita dan harus manut dengan ke’mau’an-Nya Allah SWT. 

Sayangnya kalimat seperti itu sekarang ini terdengar ‘klise’ dan basi, ditengah maraknya penuhanan terhadap akal, ilmu dan ke’aku’an, manusia tak lagi menyelami makna kalimat-kalimat sakti di atas, akibatnya banyak manusia yang kehilangan eksistensinya, tercabut kebahagiaannya dan rusak akidahnya. Hal ini disebabkan pondasi keimanan yang ditanamkan oleh kekasih Allah dan orang tua dulu digerus dengan ‘seolah-olah’ mampu mengatur kehidupan.

Perkataan syekh aththaillah ini tidak ada kaitannya dengan Jabbariah ataupun qodariyah, ini adalah satu pengakuan yang jujur dari seorang kekasih Allah yang menempuh laku salik ruhani (spiritual journey), bahwa pada garis akhir kesimpulan kehidupan manusia, semuanya menyerah pada taqdir yang telah ditetapkan Allah SWT.  Jangan lagi engkau bertanya, kalau begitu untuk apa kita berusaha?bekerja? dan beraktifitas? Karena pertanyaanmu dan semua jawaban yang engkau simpulkan dalam kepalamu itupun bagian dari taqdir yang telah ditetapkan Allah, karena memang taqdir itu sangat terperinci, sampai butiran nasi yang masuk ke mulutmu saja, telah tertulis taqdir buatmu.

Lalu apa hikmah perkataan syekh athtahillah?

Beliau rohimahullah ingin mengatakan kepada kita untuk memutus angan-angan seperti bayan di kajian hikam 2 dan 3, asbab dan tajrid. Tunduklah saja pada setiap ketentuan yang berlaku, ridho-lah saja pada setiap kehendak yang ditajjali-kan-Nya. Jangan engkau berontak, karena sekeras apapun pemberontakanmu pada ketetapan Allah, tetap saja taqdir itulah yang akan menang. 

Syekh kembali menekankan kepada kita untuk tidak bersedih hati, bermuram durja atau berputus asa, jika usaha, ikhtiar, mujahadah, upaya yang telah engkau lakukan tidak membawa hasil, sesungguhnya bagi para Salik (penempuh jalan ruhani), ketidakberhasilan itu adalah keberhasilan itu sendiri, kenapa? Karena di kegagalannya itulah ia mampu menyelami makna ‘ laa hawla walaa quwwata illa billah’ bahwa ia tak memiliki kemampuan apa-apa, tak berhak menuntut apa-apa, ia akhirnya tersandar pada satu sikap orang yang beriman, hasbunallah, cukup Allah saja!! Dan itu adalah karunia yang tak bisa ditukar dengan dunia dan isinya sekalipun, terbukanya futuh hati untuk berma’rifat kepada Allah.

Ini juga bukan bentuk sikap skeptis, apatis apalagi sikap orang malas, justru penjelasan syekh aththaillah ini menjadi pemacu semangat yang sangat luar biasa, bahwa setiap orang tidak akan meninggal dunia sebelum memenuhi semua taqdirnya, berarti selalu ada ‘kemungkinan’ yang dirahasiakan tuhan sebagai kejutan buat kita di esok hari, jika iya, lalu kenapa engkau harus berputus asa di hari ini?! Ikuti saja arah taqdir membawamu, karena dirimu dan manusia lainnya tak berhak atas keputusan hidupmu, bukan kantor yang mem-PHK-mu, bukan usahamu yang bangkrut, bukan mertua yang mengusirmu –lantaran kemiskinan. Bukan apa dan siapa yang bisa mengubah hidupmu, bahkan bukan dirimu sendiri, tetapi Allah-lah yang bisa merubah garis hidupmu, itulah mengapa ‘taqdir’ begitu dirahasiakan-Nya, agar tak ada orang yang merasa ‘keminter’ menentukan garis hidupmu.

Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an :

Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan (Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (al-Furqan: 2)

“Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, kandungan rahim yang kurang sempurna, dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya.”(ar-Ra’d: 8)

"dan Dia Allah yang menentukan taqdir dan memberi petunjuk" (Q.S. Al-A'la :3)
 
"Apa yang kamu kehendaki, (tidak dapat terlaksana) kecuali dengan kehendak Allah "(QS Al-Insan :30)

Simaklah ayat-ayat Allah ini dan renungkanlah, sehingga kita mampu memahami perkatan syekh aththaillah tentang taqdir, dan mengajak kita untuk mengimani taqdir itu yang baik mupun buruk, dan keimanan akan ketetapan-ketetapan Allah itu merupakan bentuk keridhoan yang membawa pelakunya pada kebahagiaan. Sementara pengingkaran terhadap taqdir dan ketentuan Allah karena mengandalkan asumsi-asumsi akal dan me’rasa’ memiliki ilmu akan berujung pada penderitaaan dan menemui taqdir yang jauh lebih buruk lagi seperti firman Allah SWT :

 “Rasakanlah sentuhan api neraka. Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut takdir.” (al-Qamar: 48-49) dan Nabi Muhammad SAW menjelaskan tentang ayat ini : 

نَزَلَتْ فِي أُنَاسٍ مِنْ أُمَّتِي يَكُونُونِ فِي آخِرِ الزَّمَانِ يُكَذِّبُونَ بِقَدَرِ اللهِ

“(Ayat ini) turun tentang sebagian manusia dari kalangan umatku di akhir zaman yang mendustakan takdir Allah.” (HR. ath-Thabarani 5/276 dan Ibnu Abi Hatim sebagaimana yang disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, 4/268.);

Muhammad bin Ka’b al-Qurazhi berkata, “Tatkala manusia berbicara tentang takdir, aku pun memerhatikan bahwa ternyata ayat-ayat ini turun tentang mereka: “Sesungguhnya orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan dalam neraka. Pada hari mereka diseret dalam neraka di atas muka mereka (dan dikatakan), “Rasakanlah sentuhan api neraka. Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut takdir.” (al-Qamar: 47—49)(Tafsir ath-Thabari 22/162)

Subhallah, inilah puncak bayan (keterangan) dari syekh aththaillah rohimahullah, betapa lembut dan santunnya beliau dalam mengingatkan kita tentang bahaya ‘mengingkari’ taqdir, merupakan sifat seorang mursyid kamil-pewaris Nabi- yang selalu berupaya semaksimal mungkin untuk mengajak murid-muridnya, sahabat-sahabatnya, ikhwan-ikhwannya dan seluruh ummat selamat dari ketertipuan akal dan syahwat dan kembali kepada fitrah tauhid yakni tunduk dan menyerah kepada Allah SWT (yusalimu taslimah).

Wallahu a’lam bishshowab.
Sufi kaki lima

Sabtu, 04 Agustus 2012

Kajian Al-Hikam 3


وإرداتك الاسباب مع إقامة الله إيك فى التجريد إنحطاط عن الهمة العلية
“Dan keinginanmu untuk (berkecimpung di dalam) al-asbab sedangkan Allah mendirikanmu di dalam at-tajrid merupakan satu penurunan daripada himmah (kondisi spiritual) yang tinggi.”

Manusia sering mengatakan ‘hidup ini adalah pilihan.” Kalau memang kita dapat memilih kehidupan, kenapa kita tidak memilih untuk terlahir dari rahim seorang wanita yang kaya? Pintar? Salihah? Atau memilih hidup sebagai kyai, pengusaha, pejabat dan kedudukan mulia lainnya?? Kenapa tak semua orang bisa menentukan dan mewujudkan pilihannya?? Karena ternyata hidup ini bukan pilihan, tetapi menjalankan pilihan Allah atas hidup kita. Ada yang dipilih-Nya kaya, seperti Nabi Sulaiman, Perkasa seperti Nabi Musa, Sabar dan ikhlas seperti Nabi Nuh dan Ayyub, ada juga yang ditetapkannya sebagai tokoh antagonis seperti Fir’aun, Qorun, Namrud, Abu Jahal dan lainnya.

Lalu buat apa usaha yang kita lakukan jika semua sudah ditentukan?? Karena usaha itu sendiri bagian dari ketentuan (taqdir), seperti pembahasan sebelumnya bahwa maqom asbab (usaha) itu sendiri merupakan qudrot Allah, yang jika diterima dengan keridhoan hati menjadi jalan untuk menuju puncak ketaqwaan, meski zahirnya seperti sedang asyik mengerjakan urusan dunia dan itupun bagian dari ketetapan Allah SWT, Baginda yang mulia menyampaikan sabdanya :

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَأَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ قَالُوا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ ح و حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ جَالِسًا وَفِي يَدِهِ عُودٌ يَنْكُتُ بِهِ فَرَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ مَا مِنْكُمْ مِنْ نَفْسٍ إِلَّا وَقَدْ عُلِمَ مَنْزِلُهَا مِنْ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَلِمَ نَعْمَلُ أَفَلَا نَتَّكِلُ قَالَ لَا اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ ثُمَّ قَرَأَ { فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى إِلَى قَوْلِهِ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى } حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مَنْصُورٍ وَالْأَعْمَشِ أَنَّهُمَا سَمِعَا سَعْدَ بْنَ عُبَيْدَةَ يُحَدِّثُهُ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ عَنْ عَلِيٍّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِنَحْوِهِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Zuhair bin Harb dan Abu Sa'id Al Asyaj mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami Waki'; Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair; Telah menceritakan kepada kami Bapakku; Telah menceritakan kepada kami Al A'masy; Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib lafazh ini miliknya; Telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah; Telah menceritakan kepada kami Al A'masy dari Sa'ad bin 'Ubaidah dari Abu 'Abdur Rahman As Sulami dari 'Ali dia berkata; Pada suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang duduk sambil memegang sebatang kayu yang beliau pukul-pukulkan. Lalu beliau mengangkat kepalanya seraya bersabda: Tidaklah setiap jiwa dari kalian kecuali telah diketahui tempatnya di surga ataupun di neraka. Para sahabat bertanya: 'Ya Rasulullah, kalau begitu kenapa kita harus beramal, apakah sebaiknya kita berdiam diri saja tanpa harus berbuat apa-apa? ' 'Tidak, Berbuatlah! Karena masing-masing telah dipermudah untuk berbuat sesuai dengan ketentuannya. Lalu beliau membaca ayat: Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa serta membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Adapun orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan adanya pahala yang terbaik, maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar.' (Qs. A1-LaiI (92): 5-10). Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Ibnu Basysyar keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kamiMuhammad bin Ja'far; Telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Manshur dan Al A'masy bahwasannya keduanya mendengar Sa'ad bin Ubaidah menceritakannya dari Abu 'Abdur Rahman As Sulami dari 'Ali dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan Hadits yang serupa

Baginda mengajarkan kepada kita dalam pemahaman tauhid yang begitu halus, seolah baginda ingin mengatakan ‘ siapakah yang tahu akan taqdirnya? Apakah ia menjadi ahli surga atau neraka? Apakah besok ia akan menjadi orang kaya atau miskin? Kita pasti tak bisa menjawabnya, maka baginda SAW melanjutkan nasihatnya, lakukan saja apa yang diberlakukan Allah, karena setiap orang akan dimudahkan –jalannya- dalam menetapi taqdir, jika ia ditaqdirkan sebagai orang baik, maka jalan-jalan untuk mendapatkan kebaikan akan selalu dihadirkan Allah untuknya, demikian juga sebaliknya. 

Demikian halnya dengan maqom tajrid (spritualitas secara total) baik zahir maupun bathin, bisa jadi jalan tajrid ini diberikan Allah kepada orang-orang yang semula berkedudukan di maqom asbab, seperti halnya Rosulullah SAW yang menjadi pengusaha sukses dan orang kaya di waktu muda dan ketika usia 40 Allah angkat ia sebagai Nabi dan Rasul yang kehidupannya totalitas dibaktikan kepada Allah tanpa aktifitas kasab – berbeda dengan alasan sebagian orang- bahwa tajrid adalah urusan hati bukan urusan zahir. Ini adalah pemahaman sepihak, karena yang dimaksud oleh syekh aththaillah adalah aktifitas yang masyhur dalam pandangan manusia, karena menurut syekh sesungguhnya maqom asbab dan tajrid dalam pandangan orang yang bertauhid tidaklah berbeda, karena dua-duanya terbit dari ‘Mau-Nya Allah SWT’ . maka yang membedakan keduanya bukan pada cara hati bermusyahadah melainkan dari tampilan zahir kedua maqom tersebut. 

Untuk apa semua itu jika keduanya sama dalam pandangan Allah?? 

Ketahuilah olehmu bahwa Allah menjadikan siang sebagai simbol penerangan (mashyur), maka di sinilah peranan tajrid berlaku, agar ilmu-nya Allah SWT tersampaikan dengan matarantai yang utuh.
pertanyaannya, jika para Nabi dan Rasul itu menyembunyikan identitasnya sebagai Nabi dan Rasul, apakah perlu bagi mereka yang bersembunyi itu ditugaskan mencari ummat?? Tentuk tidak. 

Di sisi lain Allah jadikan kemulian kekasih-kekasihnya dalam ketersembunyian seperti Allah menyembunyikan siang dengan datangnya malam, inilah yang disebut dengan mastur (tersembunyi), bisa jadi tampilan manusia-manusia seperti ini terlihat sedang menjalankan maqom kasab, seperti ketika Nabiallah Musa memohon petunjuk kepada Allah, siapa kiranya orang yang akan menjadi sahabatnya di surga kelak? Ternyata bukan ummatnya yang terlihat sholat, dzikir atau ibadah, melainkan seorang pemuda yang berjualan daging di pasar, demikian juga dengan Uwais al-Qorni yang tertutupi kewaliannya dengan mengembalakan unta, dan hanya orang-orang yang diberi hikmah oleh Allah sajalah yang dapat memahami ini.

Jika Allah SWT telah menetapkan kedudukanmu sebagai ahli tajrid kemudian engkau ingin beralih ke maqom asbab, itu menunjukkan penurunan kondisi spritualmu yang tinggi. Dalam hal ini yang ingin ditekankan oleh syekh aththaillah adalah godaan yang sangat mungkin terjadi pada orang-orang yang sedang berusaha untuk mujahadah kepada Allah dengan tawakal, qona’ah, ridho, ikhlas, sabar, dan menapaki jalan kesunyian dengan uzlah dan kholwat, sementara di lain sisi, istri, keluarga, lingkungan menuntutnya untuk bekerja, meninggalkan aktifitas ibadah yang ditekuninya. Maka syekh mengingatkan, janganlah semua tuntutan itu melemahkanmu untuk terus menapaki jalan tajrid itu, karena Allah akan membukakan kemudahan-kemudahan dalam urusan duniamu.  Sunatullah manusia itu diuji oleh Allah tak terkecuali orang-orang yang digiring Allah untuk menjadi ahli tajrid karena disitulah nilai keistiqomahan berlaku. Ketika ia tetap istiqomah menetapi jalan tajrid yang dimudahkan oleh Allah untuknya seiring waktu karomahpun berlaku untuknya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW “ sesungguhnya istiqomah itu mengalahkan seribu karomah” maksud Beliau SAW bahwa dengan istiqomah itu engkau akan mendapatkan lebih dari seribu karomah.  

Itulah yang dimaksudkan oleh syekh, bahwa kecenderunganmu untuk mengikuti godaan, menunjukkan menurunnya semangat spiritualmu, jika kita mengambil analogi orang yang berpuasa, di siang hari ia diajak oleh teman-temannya untuk makan, minum dan melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, secara fitrah wajar jika ia tergiur, namun himmah (kemauan) hati dan jiwanya untuk mendapatkan nilai-nilai puasa mengurungkan segala bisikan nafsu yang menggodanya tersebut.  Maka sesiapa yang memang sudah berlaku atasnya ke asyikan dalam tajrid, teruslah dan teruslah berjalan di wilayah itu, jangan engkau berhenti atau berlari mengikuti ‘ syahwat ‘ yang berupaya melemahkan semangat mujahadahmu, sampai kemuliaan itu Allah berikan untukmu. Dan yang menjadi kunci menurut syekh aththaillah dalam uraiannya ini adalah berlakunya keridhoan kita atas apa yang telah Allah tetapkan untuk kita, baik itu asbab maupun tajrid, dikeduanya akan engkau dapati kebaikan dan keberkahan yang banyak.

Untuk menutupi kajian tentang tajrid ini mari kita simak beberapa ayat Allah SWT serta hadits Nabi SAW yang akan meneguhkan hati dan jiwa kita dalam menetapi maqom tajrid (bagi yang berlaku atasnya) :

فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنبَتَهَا نَبَاتاً حَسَناً وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِندَهَا رِزْقاً قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَـذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِندِ اللّهِ إنَّ اللّهَ يَرْزُقُ مَن يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab” (Q.S. Ali Imron : 37)

وَكَأَيِّن مِن دَابَّةٍ لَا تَحْمِلُ رِزْقَهَا اللَّهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Ankabut : 60)

اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
(Q.S : Al Ankabut ( 29 ) : 62)

عن عمر بن الخطاب رَضَيَ اَللهُ عَنْه ، عن النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: (( لو أنَّكم توكَّلون على الله حقَّ توكله لرزقكم كما يرزق الطير، تغدو خماصاً، وتروحُ بطاناً )) رواه الإمام أحمد والترمذي والنسائي وابن ماجه وابن حبان في صحيحه والحاكم، وقال الترمذي:  حسن صحيح

Dari Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,beliau bersabda, “Jika kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal,niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada kalian, seperti Allah memberikan rezeki kepada seekor burung. Ia pergi (dari sarangnya) di pagi hari dalam keadaan perut yang kosong (lapar), dan kembali (ke sarangnya) di sore hari dalam keadaan perut yang penuh(kenyang)”. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa-i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, dan Al-Hakim. Dan At-Tirmidzi berkata, “Hasan Shahih”.

Wallahu a’lam bishshowab
Sufi kaki lima

Kamis, 02 Agustus 2012

Kajian Al-Hikam 2


إرداتك التجريد مع إقامة الله إيك فى الاسباب من الشهوة الخفية
“Keinginanmu untuk melakukan at-tajrid (penanggalan, yakni meninggalkan usaha-usaha mencari rezeki) sedangkan Allah mendirikanmu di dalam al-asbab (sebab-musabab, yakni melakukan usaha-usaha mencari rezeki) adalah termasuk ke dalam syahwat yang tersembunyi.

Kita manusia sering mengangankan sesuatu yang ada diluar diri kita. Saat kita dalam kondisi beribadah kita menginginkan mencari kehidupan dunia dengan bekerja, demikian juga sebaliknya saat kita bekerja kita menginginkan hidup yang penuh dengan ibadah. Sikap seperti ini akhirnya menyebabkan kita tidak tuma’ninah dalam ibadah dan tidak fokus saat bekerja yang pada akhirnya kita malah tidak mendapatkan kenikmatan di keduanya.

Syekh mengingatkan kita, ada masa dimana kita memang dituntut untuk fokus dalam bekerja, memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup kita dan keluarga, yang bukan berati meninggalkan kewajiban kita kepada Allah.  Hanya saja kita tak perlu ‘ngoyo’ menjadi rahib, meninggalkan aktifitas duniawi dan menenggelamkan diri kita dalam ibadah siang dan malam. Karena jika memang Allah belum menentukan waktu itu (tajrid) untuk kita, maka yang akan kita terima adalah kemelaratan, komplin dari keluarga dan ujung-ujungnya menimbulkan fitnah. Bukankah bekerja yang dilandasi dengan kepatuhan kepada Allah dengan tujuan mencari rezeki yang halal, memenuhi kebutuhan keluarga merupakan satu bentuk ibadah?? Jika asbab keringat yang engkau keluarkan dalam bekerja membuat bahagia orangtuamu, anak istrimu, keluarga dan orang yang menjadi tanggunganmu maka engkau telah membuat satu kebaikan yang besar dan itu bernilai sodaqoh yang terbaik.  Allah Dzat yang Maha Arif dan Bijaksana mengingatkan kita dalam ayat-ayat-Nya :

 “Dialah Dzat yang telah menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunva dan makanlah sebagian rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Q.S AI-MuIk (67):15)

“Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun korma dan anggur, dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka dapat makan dari buahnva, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?” (Q.S Yaasin (36): 34-35)

”Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal shaleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik”. (Q.S Al-Kahfi (18): 30)

”Maka apabila telah dilaksanakan shalat, bertebaranlah kam di muka bum; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (Q.S. Al-Jumu’ah (62): 10)

”Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, supaya kamu menjalani jalan-jalan yang luas di bumi ini”. (Q.S Nuh:(71):19-20)

Untuk itu diperlukan sikap yang arif untuk dapat mengetahui maqom (kedudukan) kita dalam hal asbab dan tajrid, janganlah kita memaksakan diri atas apa yang Allah tetapkan karena hal itu hanya akan membawa kerugian bagi kita. Ukurlah dengan azam dan tekad yang ada di hatimu, keinginamu untuk beribadah secara total bisa jadi merupakan ‘syahwat’ yang tersembunyi. 

Apa maksud syekh tentang syahwat yang tersembunyi itu??

Beliau ingin mengajarkan kepada kita tentang makna keikhlasan dalam beribadah, karena ibadah tanpa keikhlasan hanya akan menjadi satu amal yang sia-sia. Saat ini banyak manusia yang ingin dikenal sebagai orang salih, alim, ahli ibadah dan  wali allah. Sehingga banyak orang menipu diri mereka dengan casing seorang ulama, ahli ibadah atau jubah serta sorban agar orang lain menilainya sebagai orang salih. Padahal ukuran ketaqwaan tidak dapat diukur dengan asesoris itu semua, meski tidak berarti yang melakukan itu salah. Titik tekan yang ingin disampaikan oleh syekh adalah kebersihan hati, ketulusan jiwa dan keikhlasan dalam beramal. Jika pekerjaanmu, usahamu (kasab) dilakukan dengan keikhlasan, ketulusan dan rasa pengabdian kepada Allah, maka nilai usahamu itu adalah jalan ketaqwaan yang Allah tetapkan untukmu, tak perlu engkau merubah-rubah penampilanmu yang hanya akan membuatmu menjadi kacau.  

Baginda Rasul SAW pun pernah mengingatkan kita dalam sabdanya : 

”Siapa saja pada malam hari bersusah payah dalam mencari rejeki yang halal, malam itu ia diampuni”. (HR. Ibnu Asakir dari Anas)

”Siapa saja pada sore hari bersusah payah dalam bekerja, maka sore itu ia diampuni”. (HR. Thabrani dan lbnu Abbas)

”Tidak ada yang lebih baik bagi seseorang yang makan sesuatu makanan, selain makanan dari hasil usahanya. Dan sesungguhnya Nabiyullah Daud as, selalu makan dan hasil usahanya”. (HR. Bukhari)
”Sesungguhnya di antara dosa-dosa itu, ada yang tidak dapat terhapus dengan puasa dan shalat”. Maka para sahabat pun bertanya: “Apakah yang dapat menghapusnya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: ”Bersusah payah dalam mencari nafkah.” (HR. Bukhari)

”Apabila kamu selesai shalat fajar (shubuh), maka janganlah kamu tidur meninggalkan rejekimu”. (HR. Thabrani)

”Berpagi-pagilah dalam mencari rejeki dan kebutuhan, karena pagi hari itu penuh dengan berkah dan keherhasilan.” (HR. Thabrani dan Barra’)

“Sesungguhnya Allah Ta‘ala suka melihat hamba-Nya bersusah payah dalam mencari rejeki yang halal”. (HR. Dailami)

Dengan bayan (keterangan) yang disampaikan syekh aththaillah sesungguhnya kita bisa menditeksi posisi atau kedudukan kita dalam koridor taqdir yang berlaku, di awali dengan hadirnya ilham (fikiran) untuk berusaha dan kewajiban yang harus diselesaikan, dihadirkannya kemudahan-kemudahan, jalan-jalan untuk menapaki ibadah dalam wilayah kasab dan hasilnya mengandung nilai manfaat dan maslahat yang banyak untuk kita dan ummat. Sehingga usaha yang kita lakukan bernilai ibadah tanpa sekali lagi mengurangi kewajiban kita dalam menunaikan kewajiban lainnya.

Sebagai penutup kajian al-hikam marilah kita simak satu kejadian di masa rasulallah SAW yang menegaskan bahwa sesungguhnya bekerja (kasab) merupakan bagian dari jihad fi sabilillah

 “pada suatu hari, ketika Rasulullah SAW sedang berjalan bersama dengan para sahahat, tiba-tiba mereka menyaksikan seorang pemuda yang nampak gagah perkasa sedang bekerja keras membelah kayu bakar. Dan para sahahat pun berkomentar: “Celakalah pemuda itu. Mengapa keperkasaannya itu tidak digunakan untuk Sabilillah (jalan Allah)?” Lantas, Rasulullah SAW bersabda “Janganlah kalian berkata demikian. Sesungguhnya bila ia bekerja untuk menghindarkan diri dari meminta-minta (mengemis), maka ia berarti dalam Sabilillah. Dan jika ia bekerja untuk mencari nafkah serta mencukupi kedua orang tuanya atau keluarganya yang lemah, maka iapun dalam Sabilillah. Namun jika ia bekerja hanya untuk bermnegah-megahan serta hanya untuk memperkaya dirinya, maka ia dalam Sabilisy syaithan (jalan setan)”.

Wallahu a’lam bishshowab
Sufi kaki lima.

Rabu, 01 Agustus 2012

Kajian Al-Hikam 1


من علامات الاعتماد على العمل نقصان الرجاء عند وجود الزلل
( Daripada tanda bahwa engkau bersandar (bertuhan)-kepada amal, hilangnya harapanmu kepada Allah ketika engkau kehilangan semangat ibadah)

Adakah manusia sempurna?? Tidak ada, yang Maha Sempurna hanya Allah SWT. Rasulullah SAW merupakan manusia paripurna, ia adalah mahluk yang mulia, bahkan kemuliannya dipuji oleh Allah SWT. Ia adalah kekasih Allah, manusia pilihan yang diturunkan sebagai rahmat bagi semesta. Namun ia bukan Allah yang Maha Sempurna, ia ma’shum sebagai Rasulullah, namun secara basyariah ia tetap memerlukan makan, minum, tidur, keluarga dan fasilitas lain yang digunakan oleh manusia kebanyakan. Lalu apa yang menjadikan rasulallah sebagai ‘Insan Kamil’ atau manusia sempurna?? Karena ia tak pernah menghadirkan ke’aku’annya selaku manusia, ia patuh dan tunduk kepada Allah SWT secara totalitas, ia tak pernah membantah taqdir Allah yang menetap padanya. Sedari kecil baginda mulia telah ditinggal oleh ayah dan bunda, namun hal itu tak mengecilkan semangat juangnya untuk tumbuh dan berkembang, karena di lubuk hatinya yang terdalam ia memiliki TUHAN yang Maha segalanya. Kekuatan spiritual yang tak bisa dibeli dengan uang, harta, kekayaan apalagi jabatan. Pengabdian, hanya itulah yang membuat beliau SAW menjadi manusia yang sempurna. Mengikuti ajarannya mendatangkan cinta Allah dan ampunan-Nya.

Adalah kita manusia yang lemah, yang sering bersandar kepada amal, kita merasa bertuhan saat kita melaksanakan ibadah, sementara ketika dzanban (dosa) dan ghaflah (kelalaian) datang kita seolah kehilangan Allah. Allah dianggap ada dan tiada seiring dengan pengabdian dan kedurhakaan. Apakah tuhannya orang yang bermaksiat bukan Allah?? Kalau jawabannya tentu saja Allah, berarti Allah tak pernah kehilangan eksistensi-Nya meskipun semua mahluk durhaka kepada-Nya atau bertambah kemulian-Nya ketika semua mahluk ta’at pada-Nya. Allah tetaplah Allah dengan segala ke Agungan-Nya, mau taat atau bermaksiat kita, Dia tetaplah Dia.

Lalu apa maksud dan hikmah perkataan syekh ibnu aththaillah di atas?? 

Beliau (syekh) mengingatkan kepada kita untuk tetap menjada ketauhidan yang murni, bahwa Allah SWT tidak datang dan pergi, ada dan tiada, muncul dan hilang, Allah senantiasa wujud, tak pernah berkurang apatah lagi menghilang baik kita dalam keadaan beribadah atau tidak sekalipun. Syekh mengatakan bahwa Tuhan kita Allah, bukan ibadah itu sendiri. Ibadah adalah dampak dari cinta dan kerinduan kepada Allah, sementara kemaksiaatan adalah wujud dari kelemahan manusia sejati. Saat engkau sedang dalam keadaan rajin beribadah janganlah engkau sangka-kan bahwa ibadah itu hasil dari kemampuanmu, melainkan buah cinta dari Allah SWT, sementara ketika engkau terlepas dari ibadah (futur), engkau tetap harus menguatkan roja (harapan) kepada Allah untuk mengampunimu, membimbingmu dan merangkulmu kembali pada hal-hal yang diridhoi-Nya. Jadi jelaslah sudah yang dimaksudkan dengan syekh bahwa siapakah TUHAN bagi orang-orang yang tersesat? Atau siapakah TUHAN orang-orang yang kafir itu? Al-Qur’an menjawab “ milik Allah-lah apa-apa yang ada di langit dan di bumi “ (Q.S. Al-baqarah : 284) .

Siapakah yang dapat memberi orang-orang yang tersesat itu petunjuk? Atau mengampuni orang yang berdosa itu? Jawabnya adalah Allah! Sungguh matahati yang terbuka, ia tidak akan bersandar kepada amaliah diri, tetapi sandarannya adalah Allah SWT.  Ingatlah kembali kisah yang diriwayatkan oleh imam bukhori dalam sahihnya, tentang si pembunuh 100 orang yang memiliki roja (harapan) akan ampunan Allah, dan pada akhirnya kekuatan prasangkanya (dhon) kepada Allah mengantarkannya kepada surga. Atau kisah si pelacur yang memberi minum seekor anjing, asbab itulah ia dirahmati Allah dan diampuni dosa-dosanya.

Mari kita buka satu kisah dalam sebuah kitab :

Hiduplah seorang pemuda yang ahli ma’siat, sampai ketika ia akan meninggal dunia, ia berkata kepada ibunya yang sebatang kara “ duhai ibuku, engkau tahu kalau aku adalah ahli durhaka, tak ada dosa yang tidak aku lakukan, dan ketahuilah olehmu saat aku mati nanti, takkan ada orang yang akan memandikanku, mengafaniku, menyolatkanku dan menguburkanku, hanya engkau sendiri wahai ibu. Untuk itu aku minta engkau meridhoi aku yang telah menyakitimu selama ini, dan hanya itu yang aku inginkan. Tidak berapa lama si pemuda meninggal dunia, dan apa yang ia katakan benarlah, tak ada satupun warga yang datang menjenguk jenazahnya hingga saat ibunya membawa ke kuburan bertemu dengan Malik bin Dinar seorang alim dan abid. Malik bin Dinar keheranan mengapa ada seorang tua yang membawa jenazah sendirian, di mana penduduk kampung lainnya, rasa penasaran membuat Malik bin Dinar mengikuti sang ibu tersebut sampai di kuburan. Saat jenazah itu sudah diletakkan dalam tanah, sang ibu berkata “ Ya Allah, saksikanlah bahwa aku ridho terhadap anakku, dan engkau berjanji bahwa ridhonya orang tua merupakan keridhoan-Mu, maka ridhoilah ia!” setelah sang ibu menguburkan jenazah anaknya. Malik bin Dinar memberanikan diri bertanya apa gerangan yang menimpa anaknya sehingga tak ada satupun warga yang mau membantu si ibu. Sang ibu menceritakan apa yang dikatakan dan diminta oleh anaknya. Malik bin Dinarpun dapat memahami kenapa hal itu sampai terjadi, keduanya pulang ke gubuk masing-masing. Saat malam Malik bin Dinar bermimpi bertemu Rasulallah SAW dan mengatakan “ wahai malik, ketahuilah olehmu bahwa lelaki itu mendapatkan ridho dan ampunan Allah SWT, karena keridhoan orangtuanya. “

Subhanallah......
Adakah kita bisa menentukan kebaikan dan keburukan seseorang? Tidak! Yang harus kita lakukan hanyalah selalu bersangka baik dengan Allah SWT dan menguatkan roja (harapan) kepada Allah SWT, baik dalam ketaatan maupun saat bergelimang dosa dan kesalahan, karena memang Hanya Allah-lah tempat bersandar semua mahluk.

  
Wallahu a’lam bishshowab.
    Sufi Kaki Lima