Kamis, 02 Agustus 2012

Kajian Al-Hikam 2


إرداتك التجريد مع إقامة الله إيك فى الاسباب من الشهوة الخفية
“Keinginanmu untuk melakukan at-tajrid (penanggalan, yakni meninggalkan usaha-usaha mencari rezeki) sedangkan Allah mendirikanmu di dalam al-asbab (sebab-musabab, yakni melakukan usaha-usaha mencari rezeki) adalah termasuk ke dalam syahwat yang tersembunyi.

Kita manusia sering mengangankan sesuatu yang ada diluar diri kita. Saat kita dalam kondisi beribadah kita menginginkan mencari kehidupan dunia dengan bekerja, demikian juga sebaliknya saat kita bekerja kita menginginkan hidup yang penuh dengan ibadah. Sikap seperti ini akhirnya menyebabkan kita tidak tuma’ninah dalam ibadah dan tidak fokus saat bekerja yang pada akhirnya kita malah tidak mendapatkan kenikmatan di keduanya.

Syekh mengingatkan kita, ada masa dimana kita memang dituntut untuk fokus dalam bekerja, memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup kita dan keluarga, yang bukan berati meninggalkan kewajiban kita kepada Allah.  Hanya saja kita tak perlu ‘ngoyo’ menjadi rahib, meninggalkan aktifitas duniawi dan menenggelamkan diri kita dalam ibadah siang dan malam. Karena jika memang Allah belum menentukan waktu itu (tajrid) untuk kita, maka yang akan kita terima adalah kemelaratan, komplin dari keluarga dan ujung-ujungnya menimbulkan fitnah. Bukankah bekerja yang dilandasi dengan kepatuhan kepada Allah dengan tujuan mencari rezeki yang halal, memenuhi kebutuhan keluarga merupakan satu bentuk ibadah?? Jika asbab keringat yang engkau keluarkan dalam bekerja membuat bahagia orangtuamu, anak istrimu, keluarga dan orang yang menjadi tanggunganmu maka engkau telah membuat satu kebaikan yang besar dan itu bernilai sodaqoh yang terbaik.  Allah Dzat yang Maha Arif dan Bijaksana mengingatkan kita dalam ayat-ayat-Nya :

 “Dialah Dzat yang telah menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunva dan makanlah sebagian rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Q.S AI-MuIk (67):15)

“Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun korma dan anggur, dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka dapat makan dari buahnva, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?” (Q.S Yaasin (36): 34-35)

”Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal shaleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik”. (Q.S Al-Kahfi (18): 30)

”Maka apabila telah dilaksanakan shalat, bertebaranlah kam di muka bum; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (Q.S. Al-Jumu’ah (62): 10)

”Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, supaya kamu menjalani jalan-jalan yang luas di bumi ini”. (Q.S Nuh:(71):19-20)

Untuk itu diperlukan sikap yang arif untuk dapat mengetahui maqom (kedudukan) kita dalam hal asbab dan tajrid, janganlah kita memaksakan diri atas apa yang Allah tetapkan karena hal itu hanya akan membawa kerugian bagi kita. Ukurlah dengan azam dan tekad yang ada di hatimu, keinginamu untuk beribadah secara total bisa jadi merupakan ‘syahwat’ yang tersembunyi. 

Apa maksud syekh tentang syahwat yang tersembunyi itu??

Beliau ingin mengajarkan kepada kita tentang makna keikhlasan dalam beribadah, karena ibadah tanpa keikhlasan hanya akan menjadi satu amal yang sia-sia. Saat ini banyak manusia yang ingin dikenal sebagai orang salih, alim, ahli ibadah dan  wali allah. Sehingga banyak orang menipu diri mereka dengan casing seorang ulama, ahli ibadah atau jubah serta sorban agar orang lain menilainya sebagai orang salih. Padahal ukuran ketaqwaan tidak dapat diukur dengan asesoris itu semua, meski tidak berarti yang melakukan itu salah. Titik tekan yang ingin disampaikan oleh syekh adalah kebersihan hati, ketulusan jiwa dan keikhlasan dalam beramal. Jika pekerjaanmu, usahamu (kasab) dilakukan dengan keikhlasan, ketulusan dan rasa pengabdian kepada Allah, maka nilai usahamu itu adalah jalan ketaqwaan yang Allah tetapkan untukmu, tak perlu engkau merubah-rubah penampilanmu yang hanya akan membuatmu menjadi kacau.  

Baginda Rasul SAW pun pernah mengingatkan kita dalam sabdanya : 

”Siapa saja pada malam hari bersusah payah dalam mencari rejeki yang halal, malam itu ia diampuni”. (HR. Ibnu Asakir dari Anas)

”Siapa saja pada sore hari bersusah payah dalam bekerja, maka sore itu ia diampuni”. (HR. Thabrani dan lbnu Abbas)

”Tidak ada yang lebih baik bagi seseorang yang makan sesuatu makanan, selain makanan dari hasil usahanya. Dan sesungguhnya Nabiyullah Daud as, selalu makan dan hasil usahanya”. (HR. Bukhari)
”Sesungguhnya di antara dosa-dosa itu, ada yang tidak dapat terhapus dengan puasa dan shalat”. Maka para sahabat pun bertanya: “Apakah yang dapat menghapusnya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: ”Bersusah payah dalam mencari nafkah.” (HR. Bukhari)

”Apabila kamu selesai shalat fajar (shubuh), maka janganlah kamu tidur meninggalkan rejekimu”. (HR. Thabrani)

”Berpagi-pagilah dalam mencari rejeki dan kebutuhan, karena pagi hari itu penuh dengan berkah dan keherhasilan.” (HR. Thabrani dan Barra’)

“Sesungguhnya Allah Ta‘ala suka melihat hamba-Nya bersusah payah dalam mencari rejeki yang halal”. (HR. Dailami)

Dengan bayan (keterangan) yang disampaikan syekh aththaillah sesungguhnya kita bisa menditeksi posisi atau kedudukan kita dalam koridor taqdir yang berlaku, di awali dengan hadirnya ilham (fikiran) untuk berusaha dan kewajiban yang harus diselesaikan, dihadirkannya kemudahan-kemudahan, jalan-jalan untuk menapaki ibadah dalam wilayah kasab dan hasilnya mengandung nilai manfaat dan maslahat yang banyak untuk kita dan ummat. Sehingga usaha yang kita lakukan bernilai ibadah tanpa sekali lagi mengurangi kewajiban kita dalam menunaikan kewajiban lainnya.

Sebagai penutup kajian al-hikam marilah kita simak satu kejadian di masa rasulallah SAW yang menegaskan bahwa sesungguhnya bekerja (kasab) merupakan bagian dari jihad fi sabilillah

 “pada suatu hari, ketika Rasulullah SAW sedang berjalan bersama dengan para sahahat, tiba-tiba mereka menyaksikan seorang pemuda yang nampak gagah perkasa sedang bekerja keras membelah kayu bakar. Dan para sahahat pun berkomentar: “Celakalah pemuda itu. Mengapa keperkasaannya itu tidak digunakan untuk Sabilillah (jalan Allah)?” Lantas, Rasulullah SAW bersabda “Janganlah kalian berkata demikian. Sesungguhnya bila ia bekerja untuk menghindarkan diri dari meminta-minta (mengemis), maka ia berarti dalam Sabilillah. Dan jika ia bekerja untuk mencari nafkah serta mencukupi kedua orang tuanya atau keluarganya yang lemah, maka iapun dalam Sabilillah. Namun jika ia bekerja hanya untuk bermnegah-megahan serta hanya untuk memperkaya dirinya, maka ia dalam Sabilisy syaithan (jalan setan)”.

Wallahu a’lam bishshowab
Sufi kaki lima.

8 komentar:

  1. Benarkah Tajrid semacam itu...???
    "Segala yang ada di langit dan di bumi tetap mengucap tasbih kepada Allah; dan Dialah Yang Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. Dialah sahaja yang menguasai dan memiliki langit dan bumi; Ia menghidupkan dan mematikan; dan Ia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu" QS 57:1-2
    Suasana hati yang membedakan. bukannya golongan ini tanpa makan, tanpa minum tanpa mandi, tanpa tidur tanpa bernafas. Tabik

    BalasHapus
  2. kang afif nan cerdas dan bijaksana...sungguh orang-orang yang di tepi pantai ada 2, satu golongan yangg baru saja menyelesaikan tugas penyelaman dan yang satu baru berfikir akan berenang, samakah kedua golongan ini wahai sahabatku?? seperti pertanyaan Allah dalam Al-Qur'an, samakah orang yang buta dan melihat? perlukah pertanyaan itu dijawab? hanya orang-orang jahil secara tauhidlah yang sibuk memikirkan cara menjawab pertanyaan Allah, karena bagi orang yang terbuka matahatinya, tentu ia hanya diam dan tak banyak bicara....tabik!

    BalasHapus
  3. kangmas Agung pambudi : maturmbahnuwun sanget, sungguh ada dan tiada sama saja, karena engkau dan aku tiada beda..salam rahayu.

    BalasHapus
  4. yah... maklum sajalah, namanya juga sufi kaki lima bukan sufi sekolahan....hehehehe... lanjuuuut !!

    BalasHapus
  5. Maklumilah hambamu yang masih saja merasa ada ini. Tabik

    BalasHapus
  6. kang ichan : hehehe...peace deh ah

    BalasHapus
  7. kang afif : lah memang ada di hatiku jenengan itu...^;^

    BalasHapus