إرداتك التجريد مع إقامة الله إيك فى الاسباب من
الشهوة الخفية
“Keinginanmu untuk melakukan at-tajrid (penanggalan, yakni meninggalkan
usaha-usaha mencari rezeki) sedangkan Allah mendirikanmu di dalam al-asbab
(sebab-musabab, yakni melakukan usaha-usaha mencari rezeki) adalah termasuk ke
dalam syahwat yang tersembunyi.
Kita manusia sering mengangankan sesuatu yang ada diluar diri
kita. Saat kita dalam kondisi beribadah kita menginginkan mencari kehidupan
dunia dengan bekerja, demikian juga sebaliknya saat kita bekerja kita
menginginkan hidup yang penuh dengan ibadah. Sikap seperti ini akhirnya
menyebabkan kita tidak tuma’ninah dalam ibadah dan tidak fokus saat bekerja
yang pada akhirnya kita malah tidak mendapatkan kenikmatan di keduanya.
Syekh mengingatkan kita, ada masa dimana kita memang dituntut
untuk fokus dalam bekerja, memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup kita dan
keluarga, yang bukan berati meninggalkan kewajiban kita kepada Allah. Hanya saja kita tak perlu ‘ngoyo’ menjadi
rahib, meninggalkan aktifitas duniawi dan menenggelamkan diri kita dalam ibadah
siang dan malam. Karena jika memang Allah belum menentukan waktu itu (tajrid)
untuk kita, maka yang akan kita terima adalah kemelaratan, komplin dari
keluarga dan ujung-ujungnya menimbulkan fitnah. Bukankah bekerja yang dilandasi
dengan kepatuhan kepada Allah dengan tujuan mencari rezeki yang halal, memenuhi
kebutuhan keluarga merupakan satu bentuk ibadah?? Jika asbab keringat yang
engkau keluarkan dalam bekerja membuat bahagia orangtuamu, anak istrimu,
keluarga dan orang yang menjadi tanggunganmu maka engkau telah membuat satu
kebaikan yang besar dan itu bernilai sodaqoh yang terbaik. Allah Dzat yang Maha Arif dan Bijaksana
mengingatkan kita dalam ayat-ayat-Nya :
“Dialah Dzat yang
telah menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunva
dan makanlah sebagian rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali
setelah) dibangkitkan.” (Q.S AI-MuIk (67):15)
“Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun korma dan anggur, dan
Kami pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka dapat makan dari
buahnva, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah
mereka tidak bersyukur?” (Q.S Yaasin (36): 34-35)
”Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal shaleh,
tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan
amalan(nya) dengan baik”. (Q.S Al-Kahfi (18): 30)
”Maka apabila telah dilaksanakan shalat, bertebaranlah kam di
muka bum; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung”.
(Q.S. Al-Jumu’ah (62): 10)
”Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, supaya
kamu menjalani jalan-jalan yang luas di bumi ini”. (Q.S Nuh:(71):19-20)
Untuk itu diperlukan sikap yang arif untuk dapat mengetahui
maqom (kedudukan) kita dalam hal asbab dan tajrid, janganlah kita memaksakan diri
atas apa yang Allah tetapkan karena hal itu hanya akan membawa kerugian bagi
kita. Ukurlah dengan azam dan tekad yang ada di hatimu, keinginamu untuk
beribadah secara total bisa jadi merupakan ‘syahwat’ yang tersembunyi.
Apa maksud syekh tentang syahwat yang tersembunyi itu??
Beliau ingin mengajarkan kepada kita tentang makna keikhlasan
dalam beribadah, karena ibadah tanpa keikhlasan hanya akan menjadi satu amal
yang sia-sia. Saat ini banyak manusia yang ingin dikenal sebagai orang salih,
alim, ahli ibadah dan wali allah. Sehingga
banyak orang menipu diri mereka dengan casing seorang ulama, ahli ibadah atau
jubah serta sorban agar orang lain menilainya sebagai orang salih. Padahal ukuran
ketaqwaan tidak dapat diukur dengan asesoris itu semua, meski tidak berarti
yang melakukan itu salah. Titik tekan yang ingin disampaikan oleh syekh adalah
kebersihan hati, ketulusan jiwa dan keikhlasan dalam beramal. Jika pekerjaanmu,
usahamu (kasab) dilakukan dengan keikhlasan, ketulusan dan rasa pengabdian
kepada Allah, maka nilai usahamu itu adalah jalan ketaqwaan yang Allah tetapkan
untukmu, tak perlu engkau merubah-rubah penampilanmu yang hanya akan membuatmu
menjadi kacau.
Baginda Rasul SAW pun pernah mengingatkan kita dalam sabdanya
:
”Siapa saja pada malam hari bersusah payah dalam mencari
rejeki yang halal, malam itu ia diampuni”. (HR. Ibnu Asakir dari Anas)
”Siapa saja pada sore hari bersusah payah dalam bekerja, maka
sore itu ia diampuni”. (HR. Thabrani dan lbnu Abbas)
”Tidak ada yang lebih baik bagi seseorang yang makan sesuatu
makanan, selain makanan dari hasil usahanya. Dan sesungguhnya Nabiyullah Daud
as, selalu makan dan hasil usahanya”. (HR. Bukhari)
”Sesungguhnya di antara dosa-dosa itu, ada yang tidak dapat
terhapus dengan puasa dan shalat”. Maka para sahabat pun bertanya: “Apakah yang
dapat menghapusnya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: ”Bersusah payah dalam
mencari nafkah.”
(HR. Bukhari)
”Apabila kamu selesai shalat fajar (shubuh), maka janganlah
kamu tidur meninggalkan rejekimu”. (HR. Thabrani)
”Berpagi-pagilah dalam mencari rejeki dan kebutuhan, karena
pagi hari itu penuh dengan berkah dan keherhasilan.” (HR. Thabrani dan Barra’)
“Sesungguhnya Allah Ta‘ala suka melihat hamba-Nya bersusah
payah dalam mencari rejeki yang halal”. (HR. Dailami)
Dengan bayan (keterangan) yang disampaikan syekh aththaillah
sesungguhnya kita bisa menditeksi posisi atau kedudukan kita dalam koridor
taqdir yang berlaku, di awali dengan hadirnya ilham (fikiran) untuk berusaha
dan kewajiban yang harus diselesaikan, dihadirkannya kemudahan-kemudahan,
jalan-jalan untuk menapaki ibadah dalam wilayah kasab dan hasilnya mengandung
nilai manfaat dan maslahat yang banyak untuk kita dan ummat. Sehingga usaha
yang kita lakukan bernilai ibadah tanpa sekali lagi mengurangi kewajiban kita
dalam menunaikan kewajiban lainnya.
Sebagai penutup kajian al-hikam marilah kita simak satu
kejadian di masa rasulallah SAW yang menegaskan bahwa sesungguhnya bekerja
(kasab) merupakan bagian dari jihad fi sabilillah
“pada suatu hari,
ketika Rasulullah SAW sedang berjalan bersama dengan para sahahat, tiba-tiba
mereka menyaksikan seorang pemuda yang nampak gagah perkasa sedang bekerja
keras membelah kayu bakar. Dan para sahahat pun berkomentar: “Celakalah pemuda
itu. Mengapa keperkasaannya itu tidak digunakan untuk Sabilillah (jalan
Allah)?” Lantas, Rasulullah SAW bersabda “Janganlah kalian berkata demikian.
Sesungguhnya bila ia bekerja untuk menghindarkan diri dari meminta-minta
(mengemis), maka ia berarti dalam Sabilillah. Dan jika ia bekerja untuk mencari
nafkah serta mencukupi kedua orang tuanya atau keluarganya yang lemah, maka
iapun dalam Sabilillah. Namun jika ia bekerja hanya untuk bermnegah-megahan
serta hanya untuk memperkaya dirinya, maka ia dalam Sabilisy syaithan (jalan
setan)”.
Wallahu a’lam bishshowab
Sufi kaki lima.
Benarkah Tajrid semacam itu...???
BalasHapus"Segala yang ada di langit dan di bumi tetap mengucap tasbih kepada Allah; dan Dialah Yang Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. Dialah sahaja yang menguasai dan memiliki langit dan bumi; Ia menghidupkan dan mematikan; dan Ia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu" QS 57:1-2
Suasana hati yang membedakan. bukannya golongan ini tanpa makan, tanpa minum tanpa mandi, tanpa tidur tanpa bernafas. Tabik
salam rahayu sagung dumadi..
BalasHapuskang afif nan cerdas dan bijaksana...sungguh orang-orang yang di tepi pantai ada 2, satu golongan yangg baru saja menyelesaikan tugas penyelaman dan yang satu baru berfikir akan berenang, samakah kedua golongan ini wahai sahabatku?? seperti pertanyaan Allah dalam Al-Qur'an, samakah orang yang buta dan melihat? perlukah pertanyaan itu dijawab? hanya orang-orang jahil secara tauhidlah yang sibuk memikirkan cara menjawab pertanyaan Allah, karena bagi orang yang terbuka matahatinya, tentu ia hanya diam dan tak banyak bicara....tabik!
BalasHapuskangmas Agung pambudi : maturmbahnuwun sanget, sungguh ada dan tiada sama saja, karena engkau dan aku tiada beda..salam rahayu.
BalasHapusyah... maklum sajalah, namanya juga sufi kaki lima bukan sufi sekolahan....hehehehe... lanjuuuut !!
BalasHapusMaklumilah hambamu yang masih saja merasa ada ini. Tabik
BalasHapuskang ichan : hehehe...peace deh ah
BalasHapuskang afif : lah memang ada di hatiku jenengan itu...^;^
BalasHapus